Minggu, 23 November 2014

CERITA DIKIT YUKS
Dari buku aku mengenal lebih baik siapa Carl Friedrich Gauss (1777-1855) yang memperkenal kita “kurva normal” (Gaussian curve). Ingat, sering sekali dosen kita menjelaskan sesuatu dengan kurva normal, yang dari situ kita bisa mengerti gambaran secara lebih konkret kejadian mean, median dan modus, range, deviasi standar dari nilai rata-rata, dan varian, area penerimaan atau penolakan hipotesis null atau hipotesis alternatif, dan taraf signifikansi yang 5% dan 1% itu. Hal-hal itu, tidak bisa kita mengerti sebelum kita mengerti data “ideal” yang digambarkan akan membentuk kurva berbentuk lonceng. Data yang membentuk kurva ini, kebanyakan skornya terkluster di sekitar bagian tengah distribusi, dan semakin sedikit di bagian ujung-ujungnya. (Gambar di bawah ini dari Wikipedia.)


Suatu ketika, aku hampir tertawa menyadari bahwa kurva normal ini tercermin dalam kehidupan kita. Aku mengikuti suatu seminar dan mengamati perilaku orang-orang mencari dan memutuskan di mana mereka duduk. Benar-benar mencerminkan kurva normal. Kebanyakan orang memilih duduk di sekitar area tengah. Duduk di pojok-pojok benar-benar adalah pilihan terakhir ketika sudah tidak ada lagi tempat di area tengah. Lalu, aku hampir tertawa lagi, ketika mengamati perilaku orang mengendarai kendaraan di jalan. Kebanyakan berjalan di bagian tengah jalan, bukan? Yang berjalan di pinggir-pinggir hanyalah orang yang punya keperluan tertentu atau dalam kondisi tertentu. Bagiku, ini keajaiban yang normal dalam kehidupan kita yang sederhana. Memang area tengah adalah tempat yang paling aman dan paling tidak rentan. Yang seperti itu implikasinya ada pada pengukuran psikologis, bukan? Data yang normal mencerminkan pilihan yang normal dari orang-orang yang normal.

***

Tokoh kedua adalah Blaise Pascal (1623-1662) yang membuat kita kenal teori probabilitas, yaitu tentang jumlah kali suatu peristiwa dapat terjadi dari total kemungkinan jumlah kejadian. Lambang probabilitas adalah p. Nah, sekarang jadi mengerti, mengapa dalam kalimat hasil analisis data pasti ada semacam t = o,543 p > 0,05! Aku biasa mengartikan itu sebagai taraf signifikansi, tetapi sebenarnya, sepertinya (maaf, kesimpulan ini aku masih berusaha memahaminya), itu mengartikan probabilitas, kemungkinan data yang diambil menerima Ho, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam arti perbedaan yang terjadi hanyalah kebetulan, lebih dari 5% (0,05).

Cerita unik Pascal dalam menemukan teori probabilitas adalah ia mendapatkannya dari merenungkan peristiwa di atas meja judi. Seorang temannya, Chevalier de Mere, seorang penjudi yang terkenal, kesal karena rugi besar dalam taruhannya. Dia lalu berkonsultasi pada Pascal untuk menemukan apakah kekalahannya benar disebabkan oleh sekadar kesialan atau karena ekspektasi yang tidak realistis. Pascal lalu merenungkannya, memikirkannya dengan mencoba melempar dadu berkali-kali untuk menemukan sebenarnya apa yang terjadi. Akhirnya, ia menemukan adanya regularitas dari variasi peristiwa.

Begitulah ceritanya. Teori probabilitas tidak bermula dari persoalan matematika serius. Motif Pascal hanyalah membantu temannya agar bisa menang, tetapi ia justru menemukan hal yang besar, yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan orang beribu-ribu tahun umat manusia mengenal judi. Jadi, sekarang aku pikir, mengapa judi itu dikehendaki Allah ada di dunia ini, dilakukan oleh manusia. Mungkin, itu agar pada suatu hari ada orang yang mengambil pelajaran dari itu, bukan untuk berjudi, tetapi untuk mengembangkan sebuah ilmu yang konsep teoretiknya tidak bisa muncul tanpa fenomena yang mencerminkan probabilitas. Ya, manusia memang suka bermain-main dengan kemungkinan. Semua orang berjudi dengan kehidupannya, lewat pilihan-pilihan hidupnya. Atas hasil yang tidak sesuai harapan, apakah ini semata kesialan atau ekspektasi yang tidak realistis?

***

Selanjutnya adalah Sir Francis Galton (1822-1911). Setiap mahasiswa psikologi pasti mengenal dia. Dia adalah bapak psikologi diferensial. Orang pertama yang meneliti tentang perbedaan individual di antara manusia. Galton adalah yang menemukan konsep “standard error”. Dalam penelitiannya, di mana di dalamnya dia mengukur variasi manusia secara fisik maupun psikologis, Galton menemukan bahwa variasi datanya membentuk kurva normal. Galton menggunakan kurva ini tidak untuk membedakan mana nilai yang benar dari yang salah, tetapi sebagai metode untuk mengevaluasi data populasi dengan dasar variasi anggotanya dari rata-rata populasi. Dari situ, Galton mengartikan istilah “error” sebagai rata-rata penyimpangan atau deviasi dari nilai rata-rata populasi, bukan sebagai kesalahan atau inakurasi. Semakin besar error yang terjadi di antara sejumlah pengukuran, maka semakin besar deviasinya dari nilai rata-rata, dan semakin rendah frekuensi kejadiannya.

Mungkin kisah Galton ini singkat, tapi dari situlah berkembang ilmu statistika inferensial yang menawarkan model probabilitas. Statistika inferensial memungkinkan kita untuk mengukur yang sedikit dan menggeneralisasikannya pada yang banyak. Kita cukup mengobservasi yang bagian kecil dari kelompok, dan dari hasil itu karakter seluruh kelompok disimpulkan.

Banyak orang yang tidak suka statistika yang sepertinya menyederhanakan persoalan ini. Mereka bertanya, bagaimana bisa menilai keseluruhan populasi hanya dari hasil pengukuran sebagian anggotanya, bahwa perkara generalisasi terkadang salah kaprah dan sebagainya. Mereka memandang manusia tidak bisa dinilai pukul rata dan disamakan begitu saja berdasarkan hasil analisis sekelompok manusia. Bagiku, itu ada benarnya, tetapi metode penelitian dan metode analisis apapun, poinnya tidak berada pada benar atau salah hasilnya, melainkan bagaimana kita dapat menggunakannya secara proporsional, sesuai peruntukannya.

1 komentar: